Oleh: sarifahgirsang | Februari 8, 2011

Pemikiran Politik Plato dan Aristoteles

Pemikiran-pemikiran politik Yunani Kuno ternyata masih berpengaruh di belahan dunia Barat. Untuk mengetahui sepenuhnya pemikiran-pemikiran politik orang Barat maka menggali pemikiran Yunani Kuno adalah suatu keharusan karena di sinilah pemikiran-pemikiran tersebut dibahas secara sadar.[1] Bahkan Arnold Toynbee berpendapat bahwa peradaban atau pemikiran Barat dewasa ini lahir dari puing-puing kehancuran peradaban Yunani-Romawi. Peradaban Barat merupakan kelahiran kembali Peradaban Yunani-Romawi.[2] Sementara Roger Graudy menyatakan perkembangan peradaban atau pemikiran Barat salah satu pilatnya adalah peradaban Yunani-Romawidi samping dua pilar lainnya yaitu Judeo-Kristiani dan Islam.[3]

Pemikiran-pemikiran politik Yunani Kuno tidaklah timbul secara tiba-tiba namun ia didahului oleh pemikiran-pemikiran yang mengenai alam semesta pada umumnya. Pada akhir abad ke-5 SM studi tentang manusia mendapat tempat utama dalam perhatian Yunani bukan lagi pengetahuan-pengetahuan alam. Masalah-masalah yang dibicarakan orang di zaman Yunani Kuno misalnya bagaimana susunan masyarakat sebaiknya? Siapakah yang memerintah? Bagaimana kedudukan individu di tengah-tengah masyarakat? Sampai ke mana negara atau masyarakat mencampuri kehidupan individu? Apakah segalanya ditentukan oleh negara atau sebaliknya, manusia individu itu yang menentukan dan bagaimana negara itu berbuat? Dan apakah negara itu? Pertanyaan-pertanyaan ini juga masih hangat dibicarakan di zaman sekarang dan bahkan secara mutlak belum terjawab. Pemikiran-pemikiran yang demikian timbul dalam tradisi orang Yunani karena mereka telah lepas dari cara-cara berpikir untuk menerima begitu saja apa yang ada[4] atau dengan kata lain tidak pasrah pada nasib.

Penyebab orang Yunani Kuno memperhatikan masalah-masalah negara dan masyarakat pada umumnya disebabkan oleh, antara lain. Pertama, polis (negara kota) sering mengalami pertukaran-pertukaran sifat pemerintah; dari monarkhi ke aristokrasi, dari aristokrasi ke tirani, dan dari tirani ke demokrasi. Kedua, kebebasan berbicara merangsang untuk menjawab masalah-masalah politik ini bukan dengan kekerasan senjata. Ketiga, tidak adanya perbedaan antara negara dengan masyarakat atau dengan kata lain negara sama dengan masyarakat dan masyarakat sama dengan negara. Keempat, cara hidup orang-orang Yunani Kuno yang seakan-akan menuntut tiap warga negara untuk memperhatikan dan membicarakan masalah-masalah secara bersama. Hal ini dimungkinkan karena penilaian mereka yang tinggi terhadap pembahasan dan leisure. Leisure ini adalah keluangan waktu serta kebebasan dari tekanan dan paksaan hidup lahir seperti soal nafkah hidup. Orang Yunani Kuno mencurahkan perhatian mereka pada cara dan usaha memperoleh waktu luang sehingga mereka memiliki waktu banyak untuk membahas masalah-masalah umum. Untuk dapat menjamin waktu luang tersebut mereka membutuhkan hamba yang akan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat. Sehingga adanya hamba dalam negara adalah sesuatu yang seharusnya ada. Kelima, adanya kontak yang sering terjadi dalam masyarakat karena untuk memperhatikan dan membicarakan masalah-masalah umum tersebut. Kontak yang sering terjadi di antara mereka berlangsung di tempat-tempat umum misalnya tempat-tempat mandi, tempat-tempat peristirahatan, selain itu kondisi polis yang luas lingkungannya relatif terbatas mempermudah mereka untuk saling mengenal atau memiliki rasa kekeluargaan.

Tokoh Utama Pemikir Yunani Kuno

Socrates

Socrates adalah tokoh utama di Yunani Kuno, walaupun bukan yang pertama, yang mengarahkan perhatiannya pada permasalahan masyarakat dan bernegara. Filosof yang lahir pada tahun 469 SM membaktikan dirinya untuk Athena dalam peperangan dengan kondisi fisik yang kuat dan pernah aktif dalam politik. Namun akhirnya, ia mengundurkan diri dari kehidupan politik dan mencurahkan perhatiannya terutama pada permasalah masyarakat dan negara. Perhatiannya ini ditandai dengan usahanya yang sungguh-sungguh melakukan dialog dengan tiada memilih-milih lawan bicaranya. Ia mengaku sebagai orang yang tidak tahu apa-apa mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada orang lain. Namun setiap jawaban yang ia terima itu disambut dengan pertanyaan yang baru lagi sampai mereka kehabisan jawaban. Dengan cara seperti ini, mereka yang sebelumnya merasa pasti tahu akan sesuatu yang ditanya tadi merasa ragu akan kepastiaan tahunya, kebenaran yang disangka telah benar, rupanya menjadi kebenaran yang palsu.

Sasaran dari ironi Socrates ini adalah kaum sofis yaitu orang yang ahli tentang sesuatu atau orang yang mempunyai kecakapan khusus secara praktis. Kaum sofis yang memberikan pelajaran kepada orang-orang menghendaki bayaran atau mementingkan bayaran daripada isi pengetahuan yang sesungguhnya. Golongan sofis mengutamakan ajaran-ajaran prkatis, sesuatu yang mudah dengan cepat dipergunakan, lepas dari soal kebenaran yang dikandung didalamnya. Semangat Socrates tersebut akhirnya mendapat tuduhan dari sofis bahwa ia bermaksud merusak anak-anak muda Athena dengan ajarannya tersebut, akhirnya ada umur 70 tahun ia dijatuhi hukuman mati. Socrates tidak meninggalkan pemikirannya tersebut dalam tulisan, namun kemudian diteruskan oleh muridnya yang setia terutama Plato.

Plato

Plato lahir dari keluarga aristokrat kira-kira pada tahun 429 SM. Ia berniat untuk memasuki bidang politik sebagai karier hidupnya. Namun kematian Socrates membuat ia tidak melanjutkan niatnya tersebut kecuali sebagai filosof. Ia tidak setuju dengan cara-cara pemerintahan demokrasi pada masa itu yang menurutnya mengakibatkan gurunya meninggal.

Pada masa muda Plato, ia menyaksikan perebutan kepemimpinan antara Athena dengan Sparta yang menghangat pada peperangan Pelopnnesos (431-404) dan dimenangkan oleh Sparta. Kekalahan tersebut membuat hati Plato hambar. Oleh karena itulah ia berusaha mengarahkan pemikirannya untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi manusia secara konkret. Ia melakukan pengembaraan ke daerah Sisilia dan Italia bahkan ke daerah Afrika yang memberikan pengalaman berharga guna pemikirannya lebih lanjut. Setelah pengembaraannya, ia mendirikan sebuah sekolah yang ia beri nama Akademi. Sekolah ini diharapkannya dapat mejadi pabrik pembentuk dan penempa orang-orang yang dapat membawa perubahan bagi Yunani. Pengetahuan yang diajarkan di Akedemi adalah mengenai segala aspek manusia dan masyarakat dalam arti keseluruhan.

Dengan didirikannya Akademi Plato menghasilkan karyanya Politeia atau Republik. Kitabnya ini digunakan sebagai pegangan dalam sekolahnya. Tema pokok kitab ini adalah keadilan. Keadilan yang dimaksud di sini berbeda dengan pengertian keadilan saat ini. Keadilan Plato lebih dekat pada kata kejujuran, moral, sifat-sifat baik seseorang. Keadilan ini berhubungan dengan kejujuran seseorang mengenai kesanggupan dan bakatnya. Menurut Plato keadilan itu adalah seseorang membatasi dirinya pada kerja dan tempat dalam hidup yang sesuai dengan panggilan kecakapan dan kesanggupannya. Dalam kehidupan bernegara, keadilan menurut Plato terletak pada kesesuaian dan keselarasan antara fungsi di satu pihak dan kecakapan serta kesanggupan di pihak lain.

Kitab Republik ini membicarakan empat masalah besar, pertama, mengenai masalah metafisika yaitu yang mencari dan membicarakan apa yang sebenarnya hakikat segala yang ada. Kedua, etika yaitu mengenai sikap yang benar dan baik serta sebaliknya. Ketiga, mengenai pendidikan yang harus dijalani seseorang dalam hidup. Keempat, mengenai pemerintahan yang seharusnya atau yang ideal. Keempat masalah ini merupakan suatu kebulatan.[5] Suatu kebulatan maksudnya di sini adalah tidak adanya perbedaan antara negara dengan masyarakat atau warga negaranya. Karena keempat masalah ini dipandang sebagai kebulatan maka Plato memunculkan pertanyaan, misalnya apakah negara yang baik itu, bagaimana mengusahakannya dan membuatnya. Apakah pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang manusia agar ia menjadi seorang yang baik? Apakah cara-cara yang harus dijalankan oleh negara yang baik dalam memimpin rakyat atau warganya mendapatkan pengetahuan yang menjadi syarat adanya kebajikan  itu? Pengetahuan di sini, menurut Socrates adalah pengetahuan yang artinya sama dengan kebajikan. Plato menyatakan kebajikan tersebut diperoleh dengan pengetahuan. Pengetahuan tentang kebaikan tersebut harus merupakan kodrat dan tidak berasal dari adat dan kebiasaan.[6] Artinya kebaikan itu bukan merupakan kehendak orang-orang, tapi kebaikan tersebut adalah kenyataan dari kehidupan. Kebajikan atau pengetahuan itu diperoleh dengan adanya pendidikan.

Demokrasi-kuno yang menempatkan seseorang pada jabatan-jabatan tanpa mempunyai syarat-syarat yang diperlukan menurut Plato adalah awal kemunduran Athena. Kepentingan diri sendiri yang berpangkal pada sifat individualime yang tidak terkendalikan yang diutarakan Plato menurut pendapat penulis juga mempengaruhi kemunduran Athena. Memang Plato tidak menafikan harus adanya keselarasan kepentingan antara orang-orang dengan negara atau masyarakat. Namun, keselarasan tersebut menurut pendapatnya bukanlah dengan menyamakan kepentingan negara dengan kepentingan seseorang melainkan kepentingan seseorang harus disesuaikan dengan kepentingan masyarakat. Oleh karena itulah Plato cenderung menciptakan adanya rasa kolektivisme daripada penonjolan pribadi.

Plato menyatakan keserasian antara masyarakat dengan negara itu memiliki tujuan, yaitu tujuan Nan Ada adalah Nan Baik. Nan Ada ini adalah suatu organisme. Organisme adalah suatu kesatuan yang bulat di mana tiap anggota atau bagiannya merupakan alat yang tidak dapat dipisahkan dari rangka keseluruhan itu. Tiap anggota atau bagian itu, sebagai organisme mempunyai fungsi yang akan memberi pengaruh pada anggota yang lainnya bahkan berpengaruh pada organisme yang lebih besar. Oleh karena itulah Plato menyatakan, apabila anggota atau bagian itu tidak menjalankan fungsinya atau “sakit” maka organisme, dalam hal ini negara, akan merasa sakit. Sehingga menurut Plato apabila setiap anggota atau bagian mengerjakan apa yang menjadi fungsinya keadilan akan tercapai. Bila meminjam pernyataan Sabine misalnya keadilan adalah ikatan yang mempersatukan suatu masyarakat, suatu persatuan yang harmonis dari individu-individu, di mana masing-masing melaksanakan tugas hidupnya sesuai dengan bakat dan pendidikannya. Keadilan merupakan kebajikan umum dan perseorangan. Singkatnya setiap anggota atau bagian melakukan apa yang menjadi hak dan kewajibannya.[7]

Fungsi-fungsi yang dijalankan tiap anggota atau bagian ini dapat dilihat dengan penganalogian Plato antara jiwa dengan negara. Apa hakikat jiwa, itu pulalah hakikat negara. Ada tiga unsur jiwa yang menjadi jenis kelas, membentuk susunan negara. Yaitu kelas penguasa—mengetahui segala sesuatu, kelas pejuang atan pembantu penguasa—yang penuh semangat, dan kelas pekerja—lebih mengutamakan keinginan dan nafsu.  Kelas penguasa dapat memberikan bimbingan kepada yang lain dalam masyarakat atau negara. Kelas pejuang diperlukan ketika kekacauan peperangan, diperlukan semangat yang membantu akal apabila ada pertentangan antara keinginan dan akal. Kelas pekerja dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan jasmani, seperti makan-minum. Dengan demikian, ketiga kelas atau fungsi ini saling membutuhkan dan masing-masing mengerjakan fungsinya untuk mencapai tujuan Nan Baik itu.

Rasa kolektivisme yang ditawarkan Plato seperti di sebutkan di atas adalah semacam komunisme di dalam cara kehidupan sosial, oleh karena itulah ia melarang adanya hak milik dan famili.[8] Adanya milik akan mengurai dedikasi seseorang pada kewajibannya sebagai anggota masyarakat. Kesempatan bermilik akan menggoda seseorang untuk memperhatikan kepentingan diri sendiri lebih dahulu. Tidak adanyan family menurutnya lagi ditujukan utuk menghindarkan kemungkinan bercampurnya kepentingan negara dengan kepentingan sendiri. Adanya larangan hak milik dan family ini disebut juga ‘nihilisme sosial’ oleh Robert Nisbet, yang tujuannya sebenarnya menghindarkan negara dari pengaruh erosif dan destruktif yang pada akhirnya akan menciptakan disentegrasi negara kota.[9]

Larangan hak milik dan family atau komunisme ini hanya terbatas pada kelas-kelas penguasa dan pembantu, sementara kelas pekerja tidak dilarang. Pandangan Plato mengenai anak dan wanita yang dianggap sebagai milik bersama bukanlah dimaksud untuk merendahkan wanita. Plato mengakui hak yang sama antara wanita dan laki-laki yang dapat dilihat dengan pengakuannya bahwa kelas penguasa dan pembantu penguasa dapat dipegang oleh wanita. Merujuk pada tulisan Sabine kembali, bahwa kesamaan derajat ini dapat juga dilihat dari tanpa pengecualian dalam pendidikan. Adanya pengakuan atau kesamaan derajat antara laki-laki dengan wanita ini adalah sebagai perbandingan yang dilakukannya antra Athena dengan Sparta.[10] Wanita dalam negara kota Sparta juga ikut sebagai tentara atau kelas pembantu penguasa. Larangan atas hak milik dan family ini maksud Plato bukanlah untuk melarang kedua kelas tersebut mendapat kebahagiaan, tapi kebahagiaan menurut Plato di sini terletak pada kewajiban atau fungsi masing-masing.

Aristoteles

Aristoteles adalah murid Plato yang melanjutkan tradisi gurunya sebagai ahli filsafat yang juga memberikan pelajaran-pelajaran dengan membuka sekolah. Lahir di kota Stagira pada tahun 384 SM. Pada umur 18 tahun ia pergi  ke Athena dan belajar pada Plato selama dua puluh tahun lamanya. Hanya setelah Plato meninggal ia baru meninggalkan Athena. Tulisan-tulisan Aristoteles meliputi bidang-bidang yang amat luas, di antaranya teologi, metafisika, etika, ekonomi, politik, dan juga fisika.  Pemikiran Aristoteles mengenai politik dapat dilihat dalam kitabnya Politica atau Politik.

Kitab Politik Aristoteles berbeda dengan kitab gurunya Plato Republik, yang walupun memperlihatkan unsure cita-cita tetapi lebih memperhatikan kenyataan. Cara Aristoteles yang induksi inilah juga yang membedakannya dengan metode gurunya yang deduktif.[11] Perbedaan-perbedaan tersebut juga dapat dilihat dari hasil karya masing-masing. Aristoteles mengemukakan kritiknya terhadap Plato bahwa karya-karya Plato tersebut sangat tinggi nilainya, tetapi sifatnya terlalu radikal dan spekulatif. Aristoteles memiliki minat dalam hal-hal praktis, berbeda dengan Plato yang memprioritaskan bentuk-bentuk abstrak. Aristoteles percaya bahwa dunia materi memberikan objek-objek yang sesuai untuk studi ilmiah, bukan dari perenungan terhadap gagasan-gagasan abstrak.[12] Sehingga Aristoteles juga disebut sebagai Bapak Ilmu Politik yang praktis dan realis.[13]

Plato melihat asal mula negara dengan menyatakan hakikat negara terletak pada saling memerlukan dari warga-warga negara yang tidak terlepas dari masalah keadilan. Sementara Aristoteles tidak melihat sejauh itu, ia melihat negara adalah sebagai suatu gabungan dari bagian-bagian yang menurut urutan besarnya mulai dari kampung, family dan individu. Individu tidak dapat hidup sendiri, mereka menghendaki adanya kawan untuk saling memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Satu kawan ini adalah keluarga dan gabuangan beberapa keluarga ini yang bertujuan lebih dari sekadar memenuhi keperluan hidup sehari-hari saja maka terjadilah kampung. Gabungan dari beberapa kampung ini yang akan membentuk negara.

Negara adalah bentuk akhir dari kumpulan manusia yang akhirnya adalah bentuk tersempurna. Bentuk yang tersempurna tersebut adalah bentuk yang sebenar-benarnya yang sesuai dengan fitrah atau tabiat dari diri manusia. Sehingga Aristoteles menyatakan bahwa negara adalah untuk kesempurnaan hidup, hidup yang benar. Berdasarkan kenyataan ini Aristoteles sendiri menyatakan manusia adalah mahluk politik (zoon politikon), artinya masyarakat atan mahluk negara yang mencapai kesempurnaannya hanya dalam masyarakat dan negara. Orang yang tidak memerlukan negara atau masyakat adalah manusia yang hidup bukan menurut fitrah atau tabiatnya. Perbedaan mengenai negara antara Plato dengan Aristoteles lain misalnya adalah, Plato menganalogikan jiwa dengan negara sementara Aristoteles menyatakan negara sebagai suatu bentuk kumpulan ataupun lanjutan dari kumpulan-kumpulan yang telah ada dan berbentuk lebih kecil.

Larangan hak milik dan family oleh Plato tidak terdapat dalam pandangan Aritoteles.  Aristoteles malah memandang hal ini menjadi hal yang penting dengan dua alasan, yaitu; pertama adanya hak milik memungkinkan seseorang untuk lebih mencurahkan perhatian kepada masalah-masalah umum, masalah yang mengenai masyarakat. Dengan adanyanya milik tersebut memungkinkan seseorang untuk memiliki waktu senggang atau leisure. Aristoteles memandang waktu senggang dalam pengertian serius bukan untuk bermain-main atau melepaskan  lelah. Hak milik bukanlah tujuan tetapi sebagai alat untuk bisa mendukung waktu luang tersebut. Begitu seriusnya masalah waktu senggang ini membuat Aristoteles berpendapat bahwa pekerja yang terpaksa mencari nafkah sehari-hari tidak mungkin memberikan perhatian kepada masalah umum. Sehingga golongan ini menurutnya tidak punya andil dalam negara.

Alasan lain Aristoteles membenarkan hak milik ialah dengan pengertian tentang kebahagiaan. Kebahagiaan menurutnya hanyalah mungkin dengan adanya sumber-sumber harta atau kebendaan. Bagi Aristoteles kesempurnaan  hidup manusia terdapat dalam negara yang termasuk didalamnya ialah pengertian pemuasan kebutuhan benda. Tidak hanya pada melaksanakan tugas dan kewajiban pada kelas tertentu seperti yang diutarakan Plato. Aristoteles memberikan fungsi-fungsi yang luas kepada negara untuk mengatur kehidupan manusia. fungsi-fungsi yang luas ini diperlukan untuk menjamin kesempurnaan hidup manusia yang hanya memungkinkan diperoleh dengan bernegara.

Masalah hak milik ternyata dikembangkan oleh Aristoteles dengan konstitusi negara yang ideal. Konstitusi yang ideal inilah yang akhirnya menjadi kesimpulan pemikir ini. Konstitusi yang ideal menurutnya adalah semacam campuran dari oligarkhi dan demokrasi, yang penting adalah dasar sosial dari konstitusi tersebut. Dasar sosial ini adalah adanya kelas menengah yang luas, lebih luas dari kelas mewah dan lebih luas pula dari kelas miskin. Kelas menengah ini adalah kelas yang tidak terlalu kaya dan tidak terlalu miskin. Adanya kelas menengah yang luas dibandingkan dengan kelas-kelas lainnya akan memenuhi syarat-syarat yang baik yang dijumpai pada demokrasi dan pada oligarkhi. Keutamaan pada suara orang banyak ini mengurangi kemungkinan paksaan. Selain suara banyak Aristoteles juga memberikan keutamaan pada keahlian dan pengalaman.  Keahlian dan pengalaman ini dimiliki oleh sedikit orang.

Aristoteles berpendapat bahwa bukan hanya suara banyak yang perlu diperhatikan dalam negara. Aristoteles membagi fungsi-fungsi yang terdapat dalam negara yaitu fungsi pembahasan, administrasi, dan pengadilan. Sehingga unsur yang penting perlu diperhatikan dalam konstitusi yang ideal adalah adanya hukum. Hukum harus diletakkan di atas segalanya. Konstitusi hanya ada bila ada hukum, baik untuk demokrasi ataupun  oligarkhi. Hukum di sini adalah dalam artian ikatan moral atau kebajikan. Dalam negara, Aristoteles berpendapat bahwa hukum memiliki sifat yang terlepas dari perseorangan bahkan sifat tersebut tidak dapat dimiliki oleh seseorang yang bagaimanapun.[14] Inilah yang juga dikritiknya terhadap Negarawan Plato. Ia tidak membenarkan apa yang disebutkan Plato yaitu pemerintahan yang berdasarkan hukum dapat diganti dengan pemerintahan oleh penguasa-penguasa yang bijaksana.

Berkaitan dengan keadilan Aristoteles berpendapat bahwa seseorang dikatakan melakukan keadilan apabila ia melakukan hukum, tunduk pada hukum. Keadilan dalam artian lainnya adalah seseorang tidak membiarkan dirinya mengambil sesuatu lebih daripada yang diambil oleh teman-temannya sewarga negara atau adanya unsur persamaan. Persamaan di sini adalah persamaan yang seimbang bukan persamaan mutlak. Sebagai warga negara, ia telah memberikan sumbangan pada negara sebagai kehidupan bersama. Karena sumbangannya tersebut, ia juga mendapat imbalan dari negara seperti kedudukan, uang, ataupun penghargan-penghargaan lain. Warga negara berhak akan pembagian tersebut dan negara akan berlaku adil terhadap warga negaranya tersebut dengan memberikan apa yang menjadi hak warga negaranya. Berbeda dengan Plato yang menyatakan bahwa keadilan itu dengan kewajiban yang dilakukan warga negaranya terhadap negara.

DAFTAR PUSTAKA

Grene, David. Man in His Pride dalam Essays in the History of Political Thought. New Jersey: Prentice- Hall, Inc. 1969.

Losco, Joseph dan Leonard Williams. Political Theory: Kajian Klasik dan Kontemporer. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2005.

Noer, Deliar. Pemikiran Politik di Negeri Barat. Bandung: Mizan. 1999.

Sabine, George H. Teori-Teori Politik: Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya. Bandung: Bina Cipta, 1992.

Sharma, R. P. Western Political Thought: Plato to Hugo Grotius. New Delhi: Sterling Publishers. 1984.

Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia. 2004.


[1] Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat (Bandung: Mizan, 1999), hal. 1.

[2] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat (Jakarta: Gramedia, 2004), hal. 1.

[3] Ibid., hal. 3.

[4] Deliar Noer, op.cit., hal. 2.

[5]Deliar Noer, ibid., hal.8.

[6]David Grene, Man in His Pride dalam Essays in the History of Political Thought (New Jersey: Prentice- Hall, Inc., 1969), hal. 46.

[7] George H. Sabine, Teori-Teori Politik: Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya, terj. Soewarno Hadiatmodjo (Bandung: Bina Cipta, 1992), hal. 56.

[8]Deliar Noer, op.cit., hal. 11.

[9]Ahmad Suhelmi, op.cit., hal. 39.

[10]Sabine, op.cit., hal. 61.

[11]Deliar Noer, op.cit., hal. 27.

[12] Joseph Losco dan Leonard Williams, Political Theory: Kajian Klasik dan Kontemporer (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 177.

[13] R. P. Sharma, Western Political Thought: Plato to Hugo Grotius (New Delhi: Sterling Publishers, 1984), hal. 56-57.

[14] Sabine, op.cit., hal. 93.


Tinggalkan komentar

Kategori